CategoriesPembelajaran

Membangkitkan Motivasi Untuk Belajar

       Motivasi siswa adalah persoalan yang paling penting dalam pendidikan saat ini. Meskipun beberapa guru masih berkutat dengan minimnya gaji, juga jumlah siswa per kelas yang terus bertambah, namun satu kelas dengan para siswa yang memiliki motivasi belajar yang tinggi merupakan prestasi seorang guru yang mengagumkan. Kita perlu tahu bagaimana cara guru tersebut meningkatkan motivasi belajar siswa-siswanya. Fakta yang menyedihkan, sedikit sekali siswa yang belajar sesuai dengan potensi yang sebenarnya mereka miliki. Jika masih sedikit siswa yang termotivasi untuk belajar sesuai dengan potensi yang sebenarnya mereka miliki, maka sebenarnya tidak banyak kemajuan yang signifikan yang telah dibuat oleh seorang guru di sekolah, tidak peduli sebaik apa pun caranya mengajar. 

         Sebagian besar kegiatan pelatihan atau pengembangan profesionalisme guru ditujukan untuk peningkatan pengajaran dan pemahaman kurikulum yang berlaku. Secara umum, kemampuan guru dalam mengajar semakin baik. Konsistensi pada apa yang diajarkan pun meningkat. Konten yang disampaikan juga lebih baik dibandingkan  yang telah disampaikan sebelumnya. Namun demikian, kurikulum dan pengajaran hanya mewakili setengah dari proses pendidikan di sekolah. Standar yang lebih tinggi, kurikulum yang dirancang dengan baik, dan pengajaran yang patut dicontoh tidak ada gunanya apabila para siswa tidak berpartisipasi dan termotivasi untuk mempelajari apa yang diajarkan oleh para guru.

      Hingga saat ini, kita lebih banyak meyakini pemahamam bahwa memotivasi  siswa sebaiknya  dilakukan dari luar dirinya melalui memberikan penghargaan dan hukuman (rewards and punishments). Hasilnya, seperti yang sudah dapat kita lihat sendiri.  Sebagian siswa termotivasi untuk menjadi lebih baik, namun sebagian lainnya tidak. Sebagian besar siswa sepertinya patuh, namun jarang sekali ditemukan siswa yang berusaha belajar semaksimal mungkin sesuai dengan potensi mereka. Yang biasa dilakukan, untuk mendongkrak motivasi belajar siswa, disiapkanlah sebuah tes atau ujian, yang merupakan senjata terakhir, bagian dari metode pemberian penghargaan dan hukuman. Tes atau ujian dipandang sebagai alat kontrol untuk meningkatkan kualitas belajar siswa, yang didasarkan pada asumsi bahwa peningkatkan standar nilai (standar kelulusan minimum) dan ancaman bahwa siswa bisa tidak lulus jika hasil tes di bawah standar minimum akan meningkatkan kualitas belajar siswa.

Bagaimanakah hasil penelitian-penelitian tentang upaya meningkatkan kualitas pembelajaran melalui motivasi eksternal? Dalam tulisan The Effects of High-Stakes Testing on Student Motivation and Learning, Amrein dan Berliner menyimpulkan sebagai berikut:

Bukti yang ada menunjukkan bahwa tes atau ujian semacam ini sebenarnya justru menurunkan motivasi siswa dan meningkatkan jumlah siswa yang putus sekolah. Hasil lebih lanjut, prestasi siswa di 18 negara yang mengadakan tes kelulusan seperti itu tidak mengalami peningkatan dalam berbagai  tolok ukur. . . . Para peneliti telah menemukan bahwa ketika pemberian penghargaan dan sanksi berkaitan dengan hasil dari ujian, siswa cenderung kurang termotivasi secara instrinsik untuk belajar dan cenderung tidak berminat dalam berpikir kritis. (hal.32)

Meskipun siswa memperoleh hasil yang baik dalam suatu tes kelulusan (peran guru dalam “mengajar persiapan ujian”), mereka gagal dalam peningkatan aspek-aspek tolok ukur kualitas pendidikan lainnya, seperti yang didapatkan pada National Assesment of Educational Progress. Angka putus sekolah meningkat, terutama di negara-negara yang patokan kelulusannya tinggi. Seperti yang dikutip Amrein dan Berliner (2003),

Kami mendapatkan data bahwa 88 persen dari negara-negara yang mengadakan ujian kelulusan sekolah menengah atas memiliki angka putus sekolah yang lebih tinggi dibandingkan dengan negara-negara yang tidak mengadakan ujian kelulusan. Angka putus sekolah di 62 persen dari negara-negara ini meningkat dibandingkan dengan negara-negara lainnya setelah menerapkan ujian kelulusan yang ketat. Sebagai tambahan, 10 negara dengan rasio kelulusan yang terendah semuanya menerapkan ujian kelulusan yang ketat (hal. 33)

Jika ujian atau tes dengan syarat kelulusan yang tinggi akan tetap diterapkan di masa mendatang, maka sangatlah penting untuk membantu siswa melihat kaitan antara pembelajaran yang mereka pelajari dengan kriteria keberhasilan menghadapi tes tersebut. Ketergantungan yang terus-menerus terhadap pembelajaran dengan model memberikan hadiah/hukuman akan menyebabkan lebih banyak siswa yang putus sekolah dan meningkatkan sinisme terhadap siswa yang “sukses” (berhasil lulus tes). Menghadapi ancaman implisit dari penerapan ujian dengan syarat kelulusan yang tinggi, yang terpenting adalah menciptakan suasana kelas dan sekolah yang sesuai kebutuhan, yang kolaboratif, yang menarik, dan menumbuhkan motivasi internal.   

Kita tidak berhasil dalam usaha untuk memotivasi siswa untuk meraih prestasi akademik dan bertanggung jawab dalam berperilaku karena kita mendasarkan asumsi kepercayaan yang salah bahwa manusia dapat termotivasi dari luar untuk melakukan prestasi terbaik mereka. Kenyataannya, kita termotivasi dari dalam.

Berita baiknya adalah bahwa kita dapat menciptakan lingkungan pembelajaran yang dapat meningkatkan motivasi sehingga membuat pembelajaran menjadi sebuah kegiatan yang menyenangkan. Ilmu psikologi tentang kontrol internal menyebutkan bahwa kita didorong untuk dapat berhubungan, menjadi kompeten, membuat pilihan-pilihan, bersenang-senang, dan merasa aman. Aturlah kelas dan sekolah di mana kelima kebutuhan tersebut rutin terpenuhi, sehingga akan menginspirasi munculnya motivasi yang akan meningkatkan prestasi akademik dan perilaku teladan.

Siswa memiliki bayangan internal tentang tujuan yang mereka inginkan, dan akan melakukan langkah-langkah demi mencapai tujuan tersebut. Saat ada orang lain yang berusaha mengontrol siswa tersebut dari luar, siswa termotivasi untuk membebaskan diri dari usaha pengontrolan orang lain tersebut. Sebaliknya, saat siswa dan guru membuat visi bersama akan apa yang akan dipelajari, siswa akan termotivasi secara internal untuk terlibat dalam kegiatan akademis yang berkualitas tinggi. Dalam lingkungan tersebut, pencapaian prestasi belajar meningkat dan masalah-masalah terkait perilaku menurun.

Melalui buku Activating the Desire to Learn, dijelaskan secara menyeluruh mengenai aspek psikologi kontrol internal. Pemodelan terbaru tentang perilaku dan motivasi manusia ini telah divalidasi berulangkali oleh para peneliti. Ketika aspek psikologi kontrol internal diaplikasikan secara konsisten, siswa berkembang secara akademis dan perilaku mereka akan bertambah baik, sebagaimana yang diinformasikan oleh guru-guru, pengawas, petugas sekolah dan siswa-siswa. Mari kita berikan kepada para siswa, sebuah pendidikan yang menarik, kolaboratif, dan menginspirasi ─ yaitu pendidikan yang mampu membangkitkan motivasi dalam diri siswa untuk meraih prestasi akademis yang tinggi. Mari kita ciptakan kelas dan sekolah yang mencerminkan kebenaran mendasar: bahwa kita termotivasi dari dalam ke luar.

 

*Dikutip dan Disarikan dari buku Activating the Desire to Learn, Bob Sullo, 2007, ASCD (Association for Supervision and Curriculum Development)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *